Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti maraknya
praktik mobilisasi dan pengerahan anak dalam aksi unjuk rasa yang berujung
kerusuhan di Jakarta dan beberapa daerah lainnya. KPAI menilai keterlibatan
anak-anak dalam aksi anarkis dan tindak kriminal merupakan bentuk eksploitasi
yang bertentangan dengan hak-hak anak.
Komisioner KPAI, Sylvana Maria Apituley, menjelaskan bahwa peraturan
perundang-undangan sebenarnya menjamin kebebasan anak untuk menyampaikan
pendapat, berkumpul, dan berserikat. Namun, perlindungan tersebut juga harus
disesuaikan dengan aspek perkembangan usia, kesiapan mental, dan keselamatan
anak.
“Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 menjamin hak anak untuk didengar,
mendapatkan informasi sesuai usia, dan bebas dari eksploitasi politik. Tetapi
faktanya, kami menemukan adanya mobilisasi anak untuk ikut unjuk rasa tanpa
edukasi yang memadai. Ini bukan partisipasi, melainkan eksploitasi,” tegas
Sylvana kepada wartawan, Rabu (3/9/2025).
KPAI mencatat adanya temuan aparat kepolisian yang mendapati anak-anak
dipersenjatai petasan hingga bom molotov saat terjadi kerusuhan. Lebih
memprihatinkan lagi, sebagian anak juga ikut melakukan penjarahan di sejumlah
daerah.
“Sangat disayangkan, bukan hanya di Jakarta, tapi juga di beberapa
wilayah lain seperti Surabaya, Kediri, Pekalongan, dan Tegal, anak-anak ikut
melakukan penjarahan. Ini situasi darurat yang harus segera dihentikan,”
imbuhnya.
Dalam menghadapi fenomena ini, KPAI meminta Polri untuk bersikap
profesional, persuasif, dan humanis saat menangani anak-anak yang terlibat.
Sylvana menekankan pentingnya kepatuhan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam setiap proses penanganan.
“Anak-anak yang diperiksa tidak boleh mengalami kekerasan, baik fisik
maupun verbal. Proses pemeriksaan harus dilakukan maksimal 24 jam, dan
tempatnya wajib dipisahkan dari tahanan orang dewasa,” tegasnya.
Lebih lanjut, KPAI juga mendorong kepolisian untuk segera mengusut
provokator yang memobilisasi anak-anak dalam aksi kerusuhan. Selain penegakan
hukum, Sylvana menilai langkah pencegahan sistemik juga harus segera dilakukan
agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.
“Kami berharap polisi bisa mengungkap siapa pihak yang memprovokasi dan
memobilisasi anak-anak. Penegakan hukum harus dilakukan secara transparan,
adil, dan tuntas,” katanya.
KPAI juga menekankan pentingnya peran orang tua, sekolah, dan masyarakat
dalam memberikan pemahaman kepada anak-anak mengenai risiko keterlibatan dalam
aksi berbahaya, seperti kerusuhan dan penjarahan.
Sebagai penutup, Sylvana mengapresiasi sejumlah orang tua yang secara
sukarela mengembalikan barang hasil penjarahan yang dilakukan anak-anak mereka.
“Sikap orang tua yang
mengembalikan barang dengan kesadaran bahwa itu bukan haknya adalah teladan
berharga. Ini menjadi pembelajaran penting bagi anak-anak tentang nilai-nilai
kejujuran dan tanggung jawab,” pungkasnya.