Jakarta -
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Mohammad Choirul Anam, menilai
simulasi penanganan unjuk rasa yang dilakukan Polri dalam Apel Kasatwil 2025
sebagai langkah penting dalam membangun tata kelola penanganan massa yang lebih
modern, humanis, dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia, Rabu
(26/11).
Anam
menegaskan bahwa simulasi tersebut memberi gambaran jelas mengenai arah desain
penanganan unjuk rasa yang sedang dirumuskan Polri untuk masa mendatang.
“Ini acara
yang sangat penting karena kita bisa melihat dengan jelas tata kelola ke depan
soal penanganan unjuk rasa. Melalui simulasi ini terlihat apa yang mau didesain
ke depan dan ke mana arah perubahannya,” ujarnya.
Ia menilai
bahwa Polri sedang bergerak meninggalkan paradigma lama yang cenderung represif
menuju paradigma pelayanan yang lebih humanis.
“Ini adalah
semangat baru, dari paradigma yang lalu menjadi paradigma pelayanan. Fokusnya
adalah bagaimana memastikan perlindungan bagi pengunjuk rasa,” kata Anam.
Dalam
penjelasannya, Anam menekankan bahwa penanganan unjuk rasa harus menjaga
keseimbangan antara dua aspek penting: keselamatan pengunjuk rasa dan keamanan
personel di lapangan.
“Memang
harus seimbang antara memastikan pengunjuk rasa itu damai dan tertib, tapi juga
bagaimana personel tetap aman. Keseimbangan ini penting sebagai landasan agar
tata kelola ke depan bisa lebih baik,” tegasnya.
Mengangkat
pengalaman masa lalu, Anam mengingatkan bahwa sebagian besar unjuk rasa
sebenarnya ditujukan kepada instansi pemerintah lain, bukan kepada Polri.
Karena itu, ekosistem penanganan unjuk rasa tidak bisa dibebankan hanya kepada
aparat kepolisian.
“Hampir 90
persen unjuk rasa itu sebenarnya ditujukan kepada instansi lain. Polisi hanya
memfasilitasi. Karena itu tanggung jawab pelayanan dan perlindungan terhadap
unjuk rasa tidak hanya pada Polri, tetapi juga pada instansi yang menjadi
tujuan aksi,” jelasnya.
Ia
mencontohkan, “Kalau unjuk rasanya ke wali kota atau bupati, maka wali kota dan
bupatinya harus hadir dan kooperatif. Ini akan sangat membantu rekan-rekan
kepolisian bekerja dengan maksimal.”
Anam
menyebut bahwa apa yang sedang dirancang Polri—baik melalui konsep baru, SOP
baru, maupun pendekatan baru—merupakan langkah paling maju dalam perspektif
perlindungan HAM.
“Apapun
itu, semangat untuk membangun tata kelola dengan perspektif yang lebih baik,
mengedepankan perlindungan HAM dan pelayanan yang bagus, adalah langkah yang
paling maju,” ungkapnya.
Ia juga
menekankan filosofi dasar yang menjadi inti penyempurnaan model pelayanan unjuk
rasa ini.
“Kami
mendapatkan penjelasan bahwa seluruh pendekatan ini untuk perlindungan hak
asasi manusia dan merupakan bentuk pelayanan terhadap setiap warga negara yang
dijamin oleh konstitusi,” tambahnya.
Anam
berharap desain tata kelola penanganan unjuk rasa yang baru dapat segera
dirampungkan dan diterapkan secara luas di berbagai wilayah Indonesia.
“Semoga
ke depannya rancang bangun penanganan unjuk rasa ini bisa lebih baik dan bisa
segera dipraktikkan di banyak tempat,” pungkasnya.


