Jakarta - Penangkapan terhadap pelaku penghasutan oleh Direktorat
Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya mendapat sorotan publik.
Namun, langkah hukum tersebut dinilai sah secara prosedural dan tidak dapat
dimaknai sebagai bentuk ancaman terhadap kebebasan sipil.
Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Dr. Alpi
Sahari, SH., M.Hum menegaskan bahwa tindakan penegakan hukum oleh kepolisian
sudah berada dalam koridor hukum positif Indonesia dan bertujuan untuk
melindungi kepentingan umum serta anak sebagai korban.
“Penangkapan ini tidak bisa dianggap sebagai bentuk pengambinghitaman
atau pelanggaran due process of law. Justru sebaliknya, tindakan ini merupakan
bagian dari upaya melindungi kepentingan umum dan menjamin hak-hak anak
sebagaimana dijamin oleh undang-undang,” ujar Dr. Alpi Sahari, yang juga pernah
diminta Kejaksaan Agung RI sebagai ahli di Mahkamah Agung dalam kasus
Peninjauan Kembali terpidana Jesicca Wongso.
Dr. Alpi juga menjelaskan bahwa dalam sistem hukum pidana Indonesia,
tindakan paksa seperti penangkapan hanya dilakukan jika memenuhi unsur hukum
pidana seperti nullum delictum nulla poena sine lege dan didasarkan pada crime
control model.
Lebih jauh, ia menyoroti pentingnya memahami prinsip equitas sequitur
legem dalam konteks hukum pidana. Menurutnya, penegakan hukum harus dilihat
sebagai bentuk kontrol terhadap kejahatan, bukan ancaman terhadap kebebasan
sipil.
“Jika ada narasi yang menyebut ini sebagai bentuk kriminalisasi atau
upaya membungkam kebebasan berpendapat, maka itu terlalu dini dan berpotensi
menyesatkan publik. Mekanisme pengawasan hukum pidana sudah diatur dalam
undang-undang. Justru narasi semacam itu bisa menjadi upaya untuk mendegradasi
institusi penegak hukum,” jelas Dr. Alpi.
Dalam kasus ini, penyidik menerapkan sejumlah pasal, antara lain Pasal
160 KUHP, serta Pasal 87 Jo Pasal 76H Jo Pasal 15 UU Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak. Selain itu, juga diterapkan Pasal 45A ayat (3) Jo
Pasal 28 ayat (3) UU ITE yang telah diperbarui melalui UU Nomor 1 Tahun 2024.
Penerapan pasal-pasal tersebut menandakan adanya dugaan eendaadse
samenloop atau meerdadse samenloop, yang secara hukum membedakan antara
perbuatan yang dilakukan dalam satu rangkaian atau beberapa perbuatan terpisah.
Dr. Alpi juga menegaskan bahwa penghasutan (opruien) memiliki makna
hukum yang spesifik dan tidak bisa disamakan dengan ajakan atau anjuran semata.
“Penghasutan memiliki intensi kuat untuk mendorong orang lain melakukan
kejahatan. Tidak harus terjadi tindak pidana untuk menyatakan delik ini
selesai, namun pasca putusan MK Nomor 7/PUU-VII/2009, harus bisa dibuktikan
adanya hubungan kausal antara perbuatan menghasut dan akibat yang timbul,”
tambahnya.
Dengan demikian, tindakan
kepolisian terhadap pelaku penghasutan ini bukan sekadar penegakan hukum,
tetapi juga bagian dari upaya perlindungan terhadap masyarakat luas dan
kelompok rentan, khususnya anak-anak, dari dampak tindakan pidana yang
ditimbulkan.